Oleh: Andri L | 24 Juni 2025
"Corona itu udah lewat, bro. Sekarang mah yang penting cari nafkah."
Kalimat ini terlontar dari mulut seorang pedagang kaki lima di bilangan Tangerang Selatan, saat ditanya soal surat edaran terbaru dari Kementerian Kesehatan terkait kewaspadaan COVID‑19. Dan dia bukan satu-satunya yang berpikir seperti itu.
😷 Surat Edaran Resmi, Tapi Sekadar Formalitas?
Pada akhir Mei 2025, Kemenkes RI menerbitkan Surat Edaran Nomor SR.03.01/C/1422/2025. Isinya cukup jelas dan lugas: waspada terhadap lonjakan kasus COVID‑19 yang kembali muncul di beberapa negara Asia Tenggara, khususnya akibat varian baru seperti JN.1, XEC, dan MB.1.1.
Namun kenyataannya di lapangan:
Tidak ada anjuran pembatasan mobilitas.
Masker kembali jadi ‘barang langka’ di wajah publik.
Testing? Jarang terdengar.
Booster? Sudah dianggap "masa lalu".
Masyarakat Indonesia, tampaknya, sudah memasuki era "imunitas sosial", bukan karena vaksin, tapi karena lupa.
📉 Data Bilang Ada, Tapi Perasaan Bilang Tidak
Menurut laporan resmi per minggu ke-24 2025, tercatat 179 kasus COVID‑19 baru di Indonesia. Positivity rate mencapai 3,13%, cukup untuk menjadi alarm dini bagi negara dengan jumlah penduduk sebesar ini.
Tapi tidak ada korban jiwa. Tidak ada pengumuman darurat. Bahkan media sosial lebih ramai soal konser dan drama politik dibanding virus corona.
Seolah-olah, "tak ada lagi ruang untuk takut."
🤔 Apakah Kita Terlalu Percaya Diri?
Beberapa alasan mengapa masyarakat tak lagi peduli:
Efek jenuh pandemi. Tiga tahun lebih hidup dengan ketakutan telah menumpulkan sensitivitas.
Narasi selesai. Vaksinasi massal, pencabutan PPKM, dan ekonomi yang kembali bergerak menciptakan ilusi bahwa COVID‑19 hanyalah sejarah.
Minimnya komunikasi publik. Surat edaran hanya menyasar institusi, bukan hati masyarakat. Padahal yang paling berisiko adalah publik itu sendiri.
🚨 Risiko Diam-Diam: Saat Kita Lengah, Virus Bersiasat
Ahli epidemiologi mengingatkan, testing saat ini sangat terbatas. Banyak kasus mungkin tidak tercatat karena gejala ringan atau keengganan masyarakat melakukan tes. Akibatnya, data tidak merefleksikan kenyataan.
"Ini bukan tentang panik, tapi tentang sadar," ujar seorang dokter dari RS pemerintah di Jakarta. "Virus tak butuh izin publik untuk kembali merebak."
✅ 3 Langkah Realistis, Bukan Paranoid
- Gunakan masker saat sakit atau di ruang publik tertutup. Bukan karena takut, tapi karena peduli.
- Lakukan booster jika tersedia. Perlindungan tetap lebih baik daripada penyesalan.
- Cek kebenaran informasi. Jangan biarkan kebiasaan scrolling mengubur fakta.
✍️ Penutup: Kita Mungkin Lelah, Tapi Jangan Lengah
Wajar jika sebagian dari kita ingin mengubur pandemi dalam-dalam. Tapi virus tak punya memori; ia hanya bereplikasi. Dan jika kita tak menjaga jarak, bukan tak mungkin jarak aman itu kembali ditetapkan—oleh keadaan, bukan kebijakan.
Hari ini, bukan tentang ketakutan, tapi tentang kesadaran yang bertahan. Jangan sampai kita menyesal hanya karena terlalu cepat merasa aman.
Bagikan tulisan ini jika kamu peduli. Atau cukup pakai masker saat flu. Tindakan kecil hari ini bisa jadi penyelamat esok hari.

0Komentar