![]() |
Cerita Dari : Andri L
DMS-MEDIA.WEB.ID – Seiring dengan transisi kepemimpinan nasional dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, arah kebijakan luar negeri Indonesia kembali menjadi sorotan. Salah satu isu strategis yang mencuat adalah potensi keterlibatan Indonesia dalam kelompok ekonomi BRICS—yang kini telah bertransformasi menjadi forum penting kekuatan global non-Barat.
Fakta: Posisi Indonesia dan Ekspansi BRICS
Pada KTT BRICS 2023 di Afrika Selatan, kelompok yang awalnya beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan itu mengumumkan ekspansi besar. Enam negara—Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, Argentina (kemudian mengundurkan diri), dan Uni Emirat Arab—diundang sebagai anggota baru. Indonesia disebut-sebut sebagai calon kuat, namun memutuskan tidak bergabung.
Menlu Retno Marsudi menegaskan bahwa Indonesia masih memegang prinsip kehati-hatian. "Kami akan terus mengkaji, Indonesia ingin memastikan bahwa semua langkah kami sesuai dengan kepentingan nasional jangka panjang," katanya saat konferensi pers pada Agustus 2023.
Opini: Prabowo dan Peluang Reorientasi Kebijakan Global
Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan menyatakan niatnya memperkuat posisi Indonesia di panggung dunia. Dalam pidato politik luar negeri pertamanya pasca-pemilu, ia menekankan pentingnya memperluas kemitraan strategis, termasuk dengan negara-negara berkembang dan kekuatan ekonomi non-Barat.
Pengamat hubungan internasional Dr. Connie Rahakundini Bakrie menilai, "BRICS bisa menjadi instrumen bagi Indonesia untuk keluar dari ketergantungan ekonomi Barat. Tapi keputusan untuk bergabung tidak bisa hanya berdasarkan orientasi geopolitik—harus ada kepastian manfaat ekonomi riil."
Sementara itu, Prof. Hikmahanto Juwana dari Universitas Indonesia mengingatkan bahwa BRICS bukan tanpa risiko. “Kita harus hati-hati agar tidak terseret dalam konflik blok-blok besar dunia. Kebijakan bebas aktif harus tetap jadi kompas utama,” ujarnya.
Analisis: Apa Untung Ruginya Masuk BRICS?
Peluang:
- Akses ke sumber pembiayaan baru melalui BRICS Bank
- Diversifikasi pasar ekspor dan investasi
- Aliansi strategis dengan negara-negara berkembang
Tantangan:
- Potensi gesekan dengan mitra tradisional seperti AS dan Uni Eropa
- Risiko terlibat dalam dinamika politik internal BRICS
- Ketidakjelasan arah kebijakan kolektif BRICS itu sendiri
Indonesia sendiri saat ini telah menjadi bagian dari berbagai platform global seperti G20, ASEAN, dan APEC. Bergabung ke BRICS bisa memperluas jangkauan diplomatik, tetapi juga berpotensi membebani konsistensi posisi Indonesia dalam berbagai forum internasional.
Kesimpulan: Pragmatisme sebagai Kunci Diplomasi Prabowo
Belum ada pernyataan resmi dari Presiden Prabowo Subianto mengenai langkah Indonesia terhadap BRICS. Namun, sinyal kebijakan luar negeri yang lebih aktif dan berani sudah terlihat. Kunci keberhasilan diplomasi Indonesia ke depan akan bergantung pada sejauh mana pemerintahan Prabowo mampu menyeimbangkan idealisme geopolitik dengan realisme ekonomi.
Di tengah dunia yang semakin multipolar, Indonesia dituntut untuk cermat memilih mitra strategis tanpa kehilangan arah. Politik bebas aktif bukan sekadar slogan, melainkan prinsip dinamis yang memerlukan strategi, kehati-hatian, dan keberanian mengambil posisi berdasarkan kepentingan nasional—bukan tekanan atau popularitas global semata.
Catatan Redaksi:
Berita ini disusun berdasarkan sumber resmi dari Kementerian Luar Negeri RI, pernyataan tokoh publik, dan media terpercaya nasional maupun internasional. Penyusunan dilakukan sesuai Kode Etik Jurnalistik, menjunjung tinggi akurasi, keberimbangan, dan tidak mencampuradukkan opini pribadi dengan fakta.

0Komentar